Halaman

Sabtu, 14 Juli 2012

Dari Melawan Ayah sampai Derita Masyarakat Urban


Hari Ke Dua Jambore Teater Remaja 2008
(Hasil Pengamatan 3 Agustus 2008)

Jambore Teater Remaja 2008 hari kedua semakin asyik. Kali ini giliran Teater Saxxi SMAN 21 Surabaya mementaskan Aku VS Ayahku (karya Budi Ros). Teater Hitam Putih SMAN 1 Tuban, mementaskan Pulang. Teater Kedok SMAN 6 Surabaya, mementaskan Lapar (karya Muhammad Ali). Teater AS SMAN 1 Papar, Kediri, mementaskan Trauma. Teater Lab 56 SMAN 1 Kalisat Jember, mementaskan Satu Sisi di Ibukota (karya Abdul Azis).
Di hari kedua tidak ada grup yang menonjol, tetapi tidak juga ada yang lemah. Permainan kelima grub cukup konsisten dalam mempertahankan irama permainannya. Sayang, banyak penonton yang tertidur pulas. (Ssst, sampai mendengkur).
Tetapi tak apalah, mungkin penonton yang terdiri dari pelajar itu sedang kelelahan atau kedinginan AC. Meski demikian, mari kita kritisi satu persatu, persoalan yang muncul dari semua grup yang pentas di hari kedua itu.

Dari Orang Kasar sampai Cari Mati


Hari Pertama Jambore Teater Remaja 2008
(Resume diskusi dan hasil pengamatan, 2 Agustus 2008)

‘Asyik juga!’ Begitulah kira-kira celetukan seorang peserta usai melihat pementasan hari pertama Jambore Teater Remaja 2008. Hari pertama, 2 Agustus 2008 yang mendapat giliran pentas, Teater Asap SMAN 3 Madiun, mementaskan Orang Kasar (Anton P Chekov), Teater Jingga SMAN 1 Puri Mojokerto, juga mementaskan Orang Kasar (Anton P Chekov), Teater Angin SMAN 2 Tuban mementaskan Pinokio Van Java (J. Satupa P.L). Kemudian pada sesi malam hari dilanjutkan dengan pementasan dari Teater Pandhan Room SMAN 2 Bangkalan, mementaskan Sandal Jepit ( Herlina Syarifudin), dan yang terakhir dari The Nine Theatrevision SMKN 9 Surabaya, mementaskan Cari Mati (Petikan naskah Orkes Madun 5 : Ozon karya Arifin C Noor).

Rabu, 27 Juni 2012

Jangan Menunggu Godot

Esai R Giryadi

Waiting for Godot, naskah drama karangan Samuel Beckett ini terasa sekali gaungnya sampai sekarang. Menunggu Godot, selalu dikaitkan dengan situasi absurd. Memang tidak terlalu meleset. Dari judulnya sudah menawarkan sesuatu yang serba kemungkinan. Menunggu menggambarkan situasi absurd itu sendiri. Antara datang dan tidak. Antara berubah atau tidak. Menunggu berarti relativitas yang tak habis diperdebatkan.

MONUMEN

Naskah Drama
R Giryadi

SUASANA MENJELANG SORE HARI, DISEBUAH KOTA YANG SIBUK DAN MACET. LAMPU KOTA MULAI MENYALA, PERTANDA KEHIDUPAN MALAM AKAN DIMULAI.
DARI SUDUT GELAP, DATANG SEGEROMBOLAN PENGAMEN JALANAN –PENGAMEN APA SAJA-  SEDANG BERJALAN MENUJU KE ALTAR MONUMEN YANG BERDIRI DI TAMAN KOTA.
MEREKA TERDIRI, SEORANG LAKI-LAKI MUDA MENYANGKLONG KENDANG BUTUT, IBU TUA MEMBAWA TAS PLASTIK dan ALAT PENGERAS SUARA SEDERHANA, MENGGANDENG SEORANG BAPAK TUA JUGA MENYANGKLONG SITER DAN GONG BUMBUNG.

1.                  Kodrat
Kita istirahat dulu Mbok, Pak. Tanganku sudah panas, seharian ngendang terus.
2.                  Mbok
Tenggorokanku juga sudah terasa kering dan panas... (batuk)
3.                  Kodrat
Itu gejala flue...
4.                  Mbok
Terlalu banyak nembang...
5.                  Kodrat
Kalau ada uang beli obat flue..